(Cerita 4: Oleh Ashari
Yudha Alfitriansyah)
Alkisah disebuah desa bernama Desa Sukasuka, hiduplah seorang pemuda. Pemuda yang bertampang norak, culun, jongos, rambut yang dibelah tengah, berpakaian cupu, dan pada akhirnya diiberi nama oleh orang tuanya Prondo Sukoco atau orang orang yang biasa memalaknya memanggilnya Prondo. Pemuda yang mengaku blasteran padahal mukanya kampungan. Prondo kecil tidaklah bahagia walaupun ia menganggap sebaliknya. Dipalak, diejek bahkan dikeroyok preman seperti sudah menjadi makanan sehari hari bagi Prondo. Saat masih TK ia amat terobsesi dengan megaloman, pahlawan super asli Indonesia sampai sampai ia pernah menyangka dirinya sebagai titisan megaloman, yang diutus untuk menumpas kejahatan di muka bumi. Tapi menginjak masa remaja dirinya mulai tersadar. Dengan otaknya yang dari dulu sampai sekarang masih cekak, ia bertransformasi menjadi detektif desa. Bertugas menyelidiki dan menyelesaikan seluruh permasalahan warga desa Sukasuka. 34 kali menangani kasus kriminal kelas teri yang kesemuanya berakhir di ruang mantri desa akibat dihajar maling, Prondo dengan bangga menyebut dirinya James Prond. Dengan kendaraan operasional khusus, sepeda kumbang, James Prond memulai aksi amatirnya dari sebuah rumah bambu milik Pak Prondo Sasomo dan Bu Aning Sukoco, kedua orang tuanya.
Alkisah disebuah desa bernama Desa Sukasuka, hiduplah seorang pemuda. Pemuda yang bertampang norak, culun, jongos, rambut yang dibelah tengah, berpakaian cupu, dan pada akhirnya diiberi nama oleh orang tuanya Prondo Sukoco atau orang orang yang biasa memalaknya memanggilnya Prondo. Pemuda yang mengaku blasteran padahal mukanya kampungan. Prondo kecil tidaklah bahagia walaupun ia menganggap sebaliknya. Dipalak, diejek bahkan dikeroyok preman seperti sudah menjadi makanan sehari hari bagi Prondo. Saat masih TK ia amat terobsesi dengan megaloman, pahlawan super asli Indonesia sampai sampai ia pernah menyangka dirinya sebagai titisan megaloman, yang diutus untuk menumpas kejahatan di muka bumi. Tapi menginjak masa remaja dirinya mulai tersadar. Dengan otaknya yang dari dulu sampai sekarang masih cekak, ia bertransformasi menjadi detektif desa. Bertugas menyelidiki dan menyelesaikan seluruh permasalahan warga desa Sukasuka. 34 kali menangani kasus kriminal kelas teri yang kesemuanya berakhir di ruang mantri desa akibat dihajar maling, Prondo dengan bangga menyebut dirinya James Prond. Dengan kendaraan operasional khusus, sepeda kumbang, James Prond memulai aksi amatirnya dari sebuah rumah bambu milik Pak Prondo Sasomo dan Bu Aning Sukoco, kedua orang tuanya.
Suatu pagi hari agak mendung. Prondo
seperti biasa mengisi hari harinya sebagai pengangguran, jika sedang tidak ada
kasus, dengan memancing. Berbekal pancingan bambu yang dia colong dari mang ujang,
penjual nasi goreng yang biasa dihutangi Prondo, dan doa restu kedua orang
tuanya. Dimulai dari kayuhan pertama sepeda kumbangnya, Prondo memulai harinya
dengan penuh harapan, yaitu tidak bertemu preman kampung yang biasa memalaknya.
Dengan tingkat keberuntungan jongkok, Prondo sukses melewati jeratan preman
preman itu. Belum sampai Prondo pada tempatnya biasa mangkal yaitu kolong di
tepi desa, dari jauh terdengar suara merdu dari ujung sawah.”Maling…maling”.
Dengan naluri detektif pas-pasan, Prondo bergegas menuju sumber suara yang
kebetulan tidak terlalu jauh dari tempatnya.
“Ada apa ini?”,Prondo bertanya
dengan seorang lelaki paruh baya yang dari tadi jelas terlihat sibuk sendiri
yang belakangan diketahui bernama Tugiman, teman dekatnya Suparjo, anaknya
Suparji, yang punya warung makan terkenal di desa dekat rumah Suparja. “Bebek
saya hilang dua, awalnya delapan sekarang tinggal tujuh”, jawab Tugiman dengan
muka yang amat serius. “Itu hilang satu, geblek”. “Oo, gitu yak. Ya pokoknya
bebek saya hilang. Aduuh..bagaimana ini? Saya bisa dimarahin sama majikan saya,
Pak Suparji”. “Oo..Suparji yang salah satu peternakan bebeknya dekat warung
makannya Suparja, ayahnya Suparjo?”. “Betul sekali, kira kira mas ini bisa
bantu gak ya?”. Dalam hati Prondo berpikir bahwa ini saat yang tepat untuk
menunjukkan kehebatannya pada Marning, salah satu perempuan desa pujaan hatinya
yang baru dikenalnya sejak dirinya hampir dipalak untuk ke-10 kalinya di bulan
ini. Saat itu Marning ikut membantu kelolosan Prondo dari preman kampung.
“Tenang saja mas….saya akan bantu dengan segala kemampuan detektif yang saya
miliki”, jawab Prondo dengan amat sangat yakin. “Kira-kira mas ini merasa
kehilangan bebek anda itu sejak kapan, ya?” Tanya Prondo memulai
investigasinya. “Waktu itu saya bawa mereka-mereka ke kolong di tepi desa,
lalu…”. “Oo…tempat saya biasa mancing dong”. “Peduli amat. Nah, lalu pas saya
bawa balik ke kandang udah melongos kemana-mana tuh bebek. Nggak tau dah
hilangnya kemana”. “Punya fotonya ndak?”. “Kebetulan ada. Nih di Blackberry saya”. Dengan kebingungan
tingkat tinggi Prondo pun dengan segenap hati meraih Blackberry-nya Tugiman. Seperti orang desa tulen kebanyakan,
penyakit katrok Prondo kambuh seketika. Dengan segala ke-katrok-an yang
dimilikinya, Prondo dengan sukses menemukan tempat penyimpanan foto bebek
hilang. “Wuihh, cantik bener”, seru Prondo tiba tiba. “Mana mana…lo, itu sih
foto cewek saya”. “Waduh, galak bener”. “Itu kan foto emak saya”. “Alamak,
jelek bener”. “Sialan , itu kan foto gue, sini gue cari foto bebeknya!”. “Oo,
itu ye. Okelah kalau begitu”. Dengan sebuah jabat tangan, misi James Prond
edisi kali ini pun resmi dimulai. Prondo diberi deadline sampai sore untuk mendapatkan kembali bebeknya karena
juragan Suparji biasanya melakukan pengecekan pada hari itu.
Tak berapa lama dari kejadian itu,
Prondo dengan segenap jiwa dan raga mendatangi tempat penyelidikan pertama,
kolong tepi desa. Disana ia memulai aksi detektif nya bak di film-film James
Bond. Namun, dengan segala bentuk kebodohan yang ia miliki aksinya tidak
terlalu berjalan baik. Beberapa kali terperosok di kubangan lumpur, menginjak
kotoran ayam, sampai sampai dilempari sandal jepit karena diduga kuat mengintip
istri orang yang sedang mandi. Dengan semangat yang seakan tak pernah padam,
bagaikan lampu teplok yang selalu disiram minyak tanah. Tiba-tiba, “Wow..ada
jejak kaki. Punya siapa ni?”, teriak Prondo dengan suara yang sangat keras.
Dari kejauhan terdengar, “Woi…siape tu yang teriak? Bising tau..”. Sejurus
kemudian tidak terlihat lagi muka jongos pemuda tersebut. Ia sudah dengan sok
sibuk mengikuti jejak kaki yang tidak jelas milik siapa.
Sekian lama berjalan, akhirnya jejak
kaki tak bertanggung jawab itu menuntunnya pada sebuah pondok kecil.
“Kwek…kwek”. Dalam hati Prondo berkata, “Suara bebek tu, punyanya Tugiman
kali!”. Perlahan dan tak pasti Prondo mendekati pondok yang baginya lebih
terlihat seperti kandang ayam kumuh tak terawat. Begitu ia lihat kedalam,
langsung nongol sekujur badan tak bergerak tanpa baju hanya memakai kolor pendek
bertuliskan Pulau Bali. “Ni orang bule nyasar kali, tapi mukanya ndeso. Ancur
banget”, kata Prondo dalam hati tanpa menyadari keadaan pada dirinya sendiri.
Dengan bersenjatakan sepotong dahan kecil, Prondo bermaksud mengecek untuk
mengetahui apakah masih ada tanda-tanda kehidupan pada bule kampung tersebut.
Setelah sedikit menusuk perut orang tersebut, tiba-tiba orang tersebut
menggeliat tak jelas. Dengan otak manusianya, Prondo berpikir bahwa orang itu
hanya tertidur. Maka dilanjutkanlah pencarian Prondo terhadap si bebek hilang. Ditelusurilah
sekeliling rumah pondok itu. Tapi sekian lama mencari, tapi tak juga ketemu
bebeknya. Sampai sampai ia hampir tertidur karena kelelahan. Tiba tiba
terdengar lagi suara bebek itu. Setengah sadar ia terkejut karena mendengar
suara yang dari tadi ia tunggu tunggu. Semangat Prondo seakan hidup kembali,
bagai kompor minyak yang kembali disiram bensin. Setelah ditelusuri, alangkah
Prondo kecewa karena ternyata suara tersebut berasal dari benda hitam kecil
yang mempunyai 21 tombol yang setelah diteliti itu adalah sebuah benda mewah
bersinar yang orang Indonesia tulen sebut hape. Dengan wajah merengut dengan
mulut yang seakan mau copot dari mukanya, badan Prondo tergulai lemas tak
berdaya, terduduk dengan tatapan kosong meratapi nasib malangnya.
Seakan tanpa tujuan jelas, Prondo
menghampiri sepeda kumbangnya dengan maksud mengabari Tugiman kalau misinya
kali ini tidak komplit. Saat Prondo sedang dalam perjalanan menuju Tugiman,
tiba-tiba matanya langsung tertuju pada seekor makhluk kecil yang menurut
sebagian besar buku pelajaran biologi namanya bebek. Setelah dilihat lebih
seksama ternyata bebek tersebut memiliki cirri ciri yang sangat mirip dengan
bebeknya Tugiman. Dengan muka setengah tak percaya yang berlebihan, Prondo
dengan girang membawa bebek yang dari tadi telah membuatnya susah itu kepada
Tugiman. Setelah sampai, disana tidak ditemukan Tugiman. Hanya ada seorang
bocah yang hidungnya ingusan duduk tak jelas di dekat kandang bebek. “Dek, ada
mas Tugimannya nggak?” tanya Prondo. “Mas Tugimannya sudah pulang om” jawab
anak itu polos. “Tadi mas Tugiman minta ke saya untuk mencarikan bebeknya yang
hilang, nih dia bebeknya”. “Ha? Perasaan nggak ada yang hilang”. “Apa?”. “Tadi
mas Tugiman sempat cerita kalo dia baru aja ngibulin orang jelek, dongok,
tampang ndeso yang mau aja disuruh cariin bebek hilang. Mungkin mas deh
orangnya”. “Sialan tu orang, terus…ni bebek siapa dong?”. Tiba-tiba dari kejauhan
terdengar suara lari kepala desa bersama para warga sedang mencari bebek pak
kades yang diduga dicuri tadi sore. Saat itu juga Prondo lenyap dari tempat
tersebut mencari perlindungan diri dari serbuan massa.
Itulah desa Sukasuka, suka membesar
besarkan yang seharusnya tak perlu dibesar besarkan. Tapi inilah realita di
sekitar kita. Terkadang lucu namun tak jarang menyakitkan. Tinggal masalah kita
yang memandangnya dari sudut mana.
Cerita ini terbagi menjadi 31 cerita yang merupakan karya tangan anak-anak kelas XA SMAN 1 Pemali. Cerita ini saya buat untuk mengenang masa-masa indah bersama teman-teman di sekolah. Mudah-mudahan nanti akan saya publikasikan juga Cerpen karya anak-anak XB.
Tetap bersama baygag karena blog ini akan terus di update :)
Temukan 31 Seri cerita lengkapnya!!! klik di sini
Temukan 31 Seri cerita lengkapnya!!! klik di sini