(Cerita 7: Oleh AVIONITA PRAMESARI)
Aku
menangis dalam diam. Mereka sama sekali tidak mendengar rintihan hatiku. Suara
pecah lelaki itu membuat sang perempuan menangis. Apa-apan ini? Kapankah ini
akan berakhir? Kapan peperangan yang memuakkan ini terhenti? Kapan? Ingin rasanya ku hentikan
denyut nadi mereka sekarang. Agar hidupku tenang! Hahahaha…
“Baca
cerpen yang ngga bermutu itu lagi!” celetuk Micky, sahabatku. Aku tak
menghiraukannya dan kembali menekuni setiap baris kalimat yang ada pada majalah
yang aku pegang. Dan kembali terhanyut seakan-akan mengalami hal yang serupa
dengan apa yang dialami sang tokoh dalam cerita itu.
“Lil, kemarin gue udah ngomong sama
Bu Ratmi. Nahh.. katanya pengunduran diri gue dari lomba KIR udah disetujuin
sama Bapak…… LILA!! LU TUH NGEDENGERIN
GUE NGOMONG NGGA
SIH??” teriak Micky sambil merebut majalah yang ku pegang.
“Micky, lu bisa ngomong pelan-pelan
ngga sih? Udah tau gue lagi konsen baca nih cerpen, ngga menghargai gue banget
sih jadi orang!” seruku jengkel sambil mengambil cerpen ditangannya.
“Iyaiya.. maaf Lil. Soalnya gue nih
mau curhat sama lu. Ehh lu nya ngga denger, kan sebel jadinya!” kata Micky dan
langsung duduk disebelahku. Segera ku tutup majalahku dan menghadap kearahnya.
“Iyaa sayang.. maaf, mau curhat apa? Lila si cewe imut siap mendengarkan,”
kataku tersenyum simpul.
“Ngga ada sih. Cuma mau ngasih tau
aja kalo pengunduran KIR-ku udah diproses sekarang,” Micky tersenyum dan aku
menganga. “Lhoo.. ngga mau kamu pikir-pikir dulu Mick? Sayang lho kesempatan
bagus dibuang sia-sia?”
“Lu kan tau kalo harinya bertepatan
dengan berangkatnya gue keMalang. Udahlah, kalo umur gue panjang, tahun depan
gue bisa ikut lagi,” katanya sambil tersenyum. Sahabatku yang satu ini sungguh
membuatku bangga. Dia cantik (sebenarnya, andai saja sifat tomboynya ia buang),
pintar (ikut lomba kemana-mana dan selalu membawa piala pulang kesekolah),
bijaksana (dapat memecahkan masalah dengan tenang), dan asyik. Selama
pertemanan kami, hampir tidak pernah aku melihatnya menangis. Masalah yang menghadangnya selalu ia hadapi
dengan senyuman. Dia bisa dikatakan idolaku yang kedua setelah cerpenis itu,
Namina Andriani.
Teeeetttt… bel sekolah menjadi penutup perbincangan kami kali ini.
JJJ
“Lil, lu dimana sekarang?” Tanya
suara yang ada diujung sana.
“Ditempat biasa. Lu lama banget sih
Mick?” Tanya aku heran. “Bentar lagi gue nongol kok. Pecaya dehh,”
“Taraaaa.. gue disini Lila,” teriak
Micky dari belakang. “Iyaa.. gue udah tau kok. Tuh didepan ada kaca, jadi ngga
kaget lagi guenya, hehehehe” kataku terkekeh. “Ehh.. kok mata lu sembab sih
Mick? Lu habis nangis?” tanyaku heran.
“Oohh.. nngg.. aahh.. ngga kog
ciin.. sebelum gue kesini tadi, gue ketiduran. Yahh gini lah jadinya,” senyum
Micky.
“Ohh.. karena itu lagi?” kataku
kesal dan kembali membaca cerpen yang selalu aku bawa kemana-mana itu.
“Cerpen norak itu lagi! Lama-lama
bisa gue robek juga tuh cerpen. Kenapa sih lu suka baca cerpen cengeng itu?
Mana pengarangnya ngga jelas lagi, siapa tuh namanya? Namuna..” “Namina
Andriana..” potongku cepat.
“Iyaiya.. whatever lah. Mau namina kek, namuna
kek, terserah, gue ngga perduli. Yang pasti tuh cerpen udah buat lu buta. Lu
hanya terpaku dengan tuh cerpen ajah, ngga ngeliat apa yang lagi terjadi di
belahan bumi yang lain! Pengarang ngga jelas itu….” Belum sempat Micky
menyelesaikan ceramah ngga bergunanya itu sudah keburu aku potong. “Ehh.. lu
boleh ngehina gue! Tapi jangan pernah lu ngeremehin idola gue. Hati lu aja yang
tertutup sampe ngga terhanyut liat cerpennya!” kataku membludak. Segera
kutinggalkan Micky sendiri disana.
“Sehebat
apa sih Namina itu sampe bikin lu tega ninggalin gue disini? Gue juga bisa
kayak dia!” teriak Micky. Segera kututup telingaku dan berlari
sekencang-kencang untuk menjauh dari tempat memuakkan ini.
Micky..
arrghh.. aku tidak kenal dengan Micky! Siapa dia? Seenaknya saja
menjelek-jelekan idolaku! Dia pikir dia siapa?
JJJ
1 minggu sudah lewat setelah
kejadian aku dengan Micky kemarin, dan karena itu pula aku dan Micky ngga
teguran. Ngga enak juga rasanya. Sepi, semuanya dilakukan sendiri. Dan setelah
merenungi semua yang terjadi, memang sepertinya itu salahku. Aku yang dulu
(sebelum membaca cerpen karya Namina Andriana) selalu ada buat Micky. Tapi
sekarang, yahh.. aku memang sudah merasakan perubahanku. Awalnya kukira ini
tidak akan membawa dampak yang negative untuk kami. Ternyata salah. Yahh..
mungkin hari ini aku harus meminta maaf kepadanya.
Micky dimana yah? Tanyaku dalam hati
sembari celingak-celinguk melihat kedalam kelas.
“Ehh.. Lil, lu nyari Micky yahh?”
Tanya Windy, salah satu teman sekelasku. Aku mengangguk mantap.
“Tadi waktu gue lewat rumahnya,
kayanya rumahnya tuh sepi banget. Tapi mobil bokapnya sih ada, dan setelah gue tanya
dengan satpamnya, katanya ada kejadian besar dirumah itu,” jelas Windy dengan
wajah seriusnya.
Tumben-tumbenan rumah Micky kaya
gitu. Terus kejadian besar? Kejadian apa yah? Tanyaku pada diri sendiri. Ahh..
sudahlah, ntar aku Tanya langsung sama Micky ajah.
Teeettt.. bel masuk berbunyi, tapi
Micky masih belum nongol juga. Kemana tuh anak? Entah mengapa, firasatku
menjadi buruk.
Pelajaran FISIKA, MATEMATIKA dan
BAHASA INGGRIS telah aku lewati. Tetapi tidak ada satu materi pun yang aku
pahami. Pikiranku tertuju hanya pada sahabatku, Micky. Apa yang terjadi
dengannya? Pokoknya pulang sekolah ini aku harus kerumahnya.
JJJ
Lhoo.. satpam rumah ini dimana yah?
Masa ngebiarin gerbangnya terbuka? Pikirku saat sampai didepan rumah bernuansa
hijau itu.
Ya sudahlah. Pak satpam tidak
mungkin marahin aku kalo aku masuk tanpa izin, kan dia udah kenal aku, kataku
dalam hati dan langsung melangkahkan kaki masuk kedalam rumah itu.
Pintunya tumben ngga dikunci? Terus
kok ngga ada orang yah? “Assalamu,alaikum..” salamku sembari mengetok pintu
yang sudah terbuka itu. Tidak ada jawaban, aneh.
“Assalamu’alaikum.. mii…” PRAAANGG..
bunyi piring pecah langsung membuatku merinding. Segera ku berlari menuju kamar
Micky yang berada dilantai atas.
“KAMU WANITA YANG TIDAK BERGUNA!
RUMAH TANGGA INI HANCUR KARENA KETIDAKBECUSAN KAMU!....” suara lelaki yang
sudah cukup kukenal itu sangat jelas terdengar dan juga diiringi dengan suara
tangisan perempuan. Mungkin ayah dan ibu Micky. Tapi apa yang terjadi dengan
mereka? dan Micky? Aahh.. bagaimana dengan dia. Segera kupercepat langkahku.
Pintu kamarnya tidak tertutup dan
tanpa ba bi bu aku langsung masuk kedalam.
Banyak kertas yang berserakan. Dan
komputernya belum dimatikan. Tampak jelas dimataku apa isi computer itu. Segera
ku ambil salah satu kertas yang telah di print untuk memperjelas apa yang aku
lihat. Sebuah cerpen yang baru kemarin aku baca beserta nama penulisnya tertera
jelas disana. Namina Andriana. Segera kulihat isi computer itu, sambungan
cerpen yang kemarin. Aku terkejut, jadi selama ini Namina Andriana adalah Micky
dan Micky adalah Namina Andriana. Ya Tuhan…
“Apa-apan ini? Kapankah ini akan
berakhir? Kapan peperangan yang memuakkan ini
terhenti? Kapan? Ingin rasanya ku hentikan denyut nadi mereka sekarang.
Agar hidupku tenang!” kata-kata itu. Micky.. segera aku menoleh dan mendapati
dia yang sedang menatap kosong kearahku.
Segera kuhamburkan dia kedalam
pelukanku.
“Lila.. sekarang kamu tahu semuanya.
kamu sudah melihat apa yang terjadi dengan keluargaku sebenarnya. Kamu sudah
tau….” Micky pun untuk pertama kalinya menangis dihadapanku.
“Sudah Mick. Aku mengerti, Micky-ku
kok kenapa jadi cengeng gini sih? Ayoo.. semuanya harus dihadapi dengan
senyuman,” bujukku sembari melepaskan pelukanku. Micky pun tersenyum.
Aku masih berusaha menutupi
keterkejutanku. Masih banyak pertanyaan melayang dikepalaku. Besok akan kucoba
tanyakan kepada Micky, yahh besok saja. Masalah yang harus aku hadapi sekarang
adalah bagaimana caranya membuat Micky menjadi tenang.
JJJ
“Lila……” teriak Micky sumringah,
seakan kemarin tidak terjadi apa-apa. Tapi baguslah…
“Cerpen lu,” kataku terkekeh sambil
mengacungkan majalah yang ku pegang.
“Masih dibaca juga?” Tanya Micky
heran.
“Habisnya idola gue yang bikin,
Namina Andriana…” teriakku keras. Micky duduk disebelahku dengan kesal.
“Ehh.. gue masih butuh penjelasan
dari lu!” kataku dan menggeser dudukku agar lebih dekat dengannya.
“Kayanya gue tau dah apa yang mau
diperjelas.. kabur ahh,” segera ku tarik tangannya. “Enak ajjah lu mau kabur.
Jelasin ke gue semuanya dulu baru lu boleh kabur,”
“Harus yah?” aku hanya diam dan
memperkeras genggamanku.
“Yaudah.. gini, semuanya bermula
dari ketahuannya bokap gue selingkuh. Mulai dari situ, bonyok sering berantem
ngga jelas gitu, lha gue sebagai anak tunggal bingung mau cerita sama siapa.
Maaf yahh, ngga keinget sama lu,” kata Micky terkekeh. Aku tidak mengubrisnya,
mataku menatap tajam kearah matanya seakan meminta penjelasan lebih lanjut.
Micky tertunduk, “Gue bingung waktu
itu Lil. Gue ngga tau lagi harus berbuat apa. Lu tau kan kalo gue suka nulis?
Nahh.. jadi apa yang gue alami itu gue tulis dikomputer kesayangan gue. dan
setelah gue pikir-pikir, mending cerita gue itu di cerpenin ajah. Bukan karena
butuh uang lho? Malahan uang yang dikasih ngga gue terima karena gue Cuma mau
berbagi cerita ajah sama orang lain. Soal nama penulisnya, lu pasti tau karena
apa,” jelas Micky.
Aku hanya bisa mengangguk. Tapi ada
satu pertanyaan mengganjal pikiranku, “Trus kenapa lu marahin gue saat gue lagi
baca cerpen itu?”
“Gue awalnya seneng ngeliat lu suka
baca cerpen gue. seneng banget. Tapi lu selalu ngga inget waktu kalo udah mulai
baca, bahkan kalo gue lagi ngomong ngga lu dengerin. Lu berubah menjadi orang
lain Lil. Dan gue ngga suka! Malahan gue sempet berpikir untuk ngga nulis
cerpen lagi, biar lu jadi LILA GUE yang dulu.. LILA YANG SELALU ADA BUAT SI CEWEK
TOMBOY. LILA YANG SELALU MENGERTI MICKY. Udah itu ajah,” kata Micky dengan mata
berkaca-kaca. Aku terkejut, apakah aku berbeda sekarang? Ahh.. baru sekarang
aku mengerti.
Segera kupeluk sahabatku itu,
“Maafin gue Mick, gue ngga nyangka ternyata gue udah kelewatan. Gue ngga
bakalan gitu lagi kok,”
“Janji…” kata Micky setelah
melepaskan pelukanku dan mengacungkan jari kelingkingnya.
“Janjiii..” kataku semangat dan
menyambut jari kelingkingnya.
Semilir angin mengalun di rok
sekolah yang kepanjanggan buatku.
Teeeetttt..
bel masuk seakan menjadi penutup perjanjian yang telah kami buat. Senyum
mengembang diwajahku dan Micky seakan berusaha mengatakan pada dunia jika kami
baik-baik saja dalam menghadapi masalah yang ada didepan mata saat ini.
JJJ