(Cerita 8: Oleh Dessiyanti)
“Ku takut bahwa aku akan membawamu ke dunia gelap dan sepi”
Berbincang-bincang sendiri dalam hati, akan ketakutan yang selama ini
terbungkus rapat dalam dekapan ingatannya. Dihadapannya sebuah pohon besar,
dengan daun rimbun bergejolak riang karena hembusan angin segar. Tanah gersang
dengan sedikit rerumputan, terus lurus dan berkelok.
“Sudah jauhkah aku berjalan? Aku
lelah dengan penunjang berjalanku ini.” Kerikil kecil tersepak disetiap
langkahnya. Tongkat penunjuk jalannya sedikit demi sedikit tersandung dengan
kerikil kecil. Genggamannya terhadap alat penunjang itu erat.
“Kak, mau ke mana? Besok jangan
lupa ajari aku membaca huruf-huruf braile ya!” sorak Nesa, adikku. Padahal aku
sudah berada 100 meter jauhnya. Nesa, sesosok perempuan kecil periang yang juga
sama dengan keadaanku. Yah keadaanku di mana bagiku tanganku ini sama dengan
penglihatan kalian. Nesa adikku selalu
bersemangat dalam mengetahui dunia luar, meskipun ia tak dapat melihat dan
memandangnya secara langsung dan hanya secerca rangkaian imajinasi saja yang ia
lihat.
Setetes air tak cukup membasahi
genggamanku terhadap tongkat yang ku pegang. Tiba-tiba air mataku jatuh..
Kalimat yang semula ku bayangkan,
terpelik kembali dalam benakku. “Ku takut bahwa aku akan membawamu ke dunia
gelap dan sepi”.
Nesa seorang adik yang ku
banggakan, setiap ku menyentuh wajahnya. Setiap ku gengam tangannya, tersirat
dalam batinku, hmm.. adikku yang periang, terus tersenyum walaupun duka telah
terjadi padamu. Hingga saat ini pun, duka itu masih ada. Dari bentuk jemari
tangan mungil Nesa, aku bisa merasakan betapa senangnya dia berada sama dengan
keadaanku.
Kokok ayam jantan membangunkanku,
“iya aku lupa! Nesa sudah menungguku, kasihan dia.” Ku raih tongkatku, berjalan
menuju kamar mandi. Walaupun aku hanya mengandalkan sentuhan kedua tanganku,
aku bisa bergerak cepat. Setiap sudut rumahku sudah tak asing lagi bagiku. Itu
hal yang mudah, aku bisa membayangkan bentuk dan tata letak setiap jengkal
benda di rumahku. Aku sudah mengenal semuanya. Walaupun sinar putih yang
berkilau sekalipun tak dapat ku rasakan. Hanya kegelapan yang menghiasi setiap
jalanku.
Beberapa buku-buku bertuliskan
huruf braile tak lupa ku bawa. “Hari ini Nesa pasti menanti kedatanganku,
beruntung aku libur hari ini. Jadi semua beban pekerjaan untuk sementara bisa
aku lepas. Aku hanya ingin membuat Nesa bahagia hari ini.” Batin ku ketika
beranjak pergi.
Berpedoman terhadap tongkat
terbaikku, ku mantapkan diriku untuk meninggalkan rumah. Kepergianku membawa
hal yang berarti, ku harap..
Tibalah ku di seberang rumah
orangtuaku. Rumah di mana dulu aku dibesarkan dan dididik hingga akhirnya aku
bisa membawa diriku ke dalam keramaian masyarakat yang penuh sesak dan sibuk akan kehidupan
dunia.
Langkah tongkatku tiba di depan
rumah masa kecilku, tampak sunyi di dalam. Ku coba dekatkan telingaku lebih
dekat ke pintu. Tapi juga tak ada tanda-tanda orang di dalam. “Tok..tok..tok,”
ku gunakan tongkatku secara perlahan. Ku panggil ibu dan Nesa “ ibu…! Nesa…!”
tapi jawaban tak kunjung ku dengar.
“Kemana gerangan ibu dan Nesa
pergi?” Nesa, adik kecilku yang ku pikir akan sangat menanti kedatanganku.
“Kemana dia?”
Semua bayangan negatif membuyarkan
pikiranku mengenai ketakutan ku terhadap kegelapan dan sepi sunyinya dunia.
Tapi hatiku risau, tanpa kabar, tanpa jejak sedikit pun. Orang tua dan adikku
tiba-tiba menghilang.
“Dek Tika.. Dek Tika..” Tegur
tetangga orang tuaku. ”Ini ada pesan dari ibu, katanya Dek Tika di suruh
langsung ke rumah sakit Swasta Nusantara.”
Teguran itu mengagetkanku sesaat. “Kecelakaan..?
bencana..? aarrghh..” otakku dipenuhi dengan segala kemungkinan terburuk
terhadap keluargaku.
***
“Emm, maaf..” tak sengaja sikutku
menyenggol seorang laki – laki yang bisa aku rasakan melalui sentuhan kasar
tangannya. Tongkatku hampir terjatuh, aku terlalu terburu – buru. Keluargaku
ada di kamar atas bernomor 109. Jatungku berdegup kencang, tongkatku terus
menuntun kakiku melangkah tanpa mengenal ada apa di depannya.
“Ayah, Ibu, Nesa!” Spontan aku
memanggil mereka.
Tampak di hadapanku, ibuku
tersenyum bahagia, ayah juga merasa gembira, demikian pula dengan Nesa. Aku tak
mengetahui akan hal itu, yah itu karena aku tak bisa melihat.
“Alhamdulillah Tika.. ayahmu
sekarang sudah bisa berjalan, maaf tadi Ibu tidak mengabarimu. Soalnya Ibu juga
mendapat kabar ini mendadak dari tempat ayah terapi pagi ini.” Senyum bahagia
menyertai perkataannya.
“huh!” ternyata sayupan melodi
indah yang ku dapat di rumah sakit hari ini. Ku peluk ayahku, dekapan hangat ku
rasakan darinya. Perasaan bahagia menenangkan batinku.
“Nesa! Hari ini kakak bawa buku
brailenya. Nesa bawa pulang yah, kita
belajar bersama-sama di hadapan ayah lagi.” Nesa pasti mau kan?”. Ku rasakan
Nesa yang masih bersemangat. Ayah diperbolehkan berada di rumah selamanya,
dunia gelapku tiba – tiba menjadi bersinar. Pikiran bahagia bersama kembali.
Pertigaan itu, membuatku ingat
akan kejadian kemarin, demikian pula dengan masa bahagia kebersamaan di hari
itu. Mataku berkedip, tak kuasa ku menahan tangis. Nesa seorang adik yang
paling ku sayangi. Pertigaan jalan itu telah mengambil kenangan manis masa
depanku bersama Nesa.
Diaryku pun hampir semuanya lembab
karena tetesan air mata yang terus membasahi pipiku. Dunia yang gelap dan sunyi
yang ku takutkan akan terjadi dalam hidup Nesa, kini telah hilang. Aku yakin
sekarang Nesa telah mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari kegelapan dan
kesunyian dunia.
Dear Diary,
Nesa adikku tercinta,
kini kau tidak perlu takut akan dunia gelap
dan sunyi. Kakak yakin, kau pasti akan mendapatkan hidup kekal yang lebih
indah. Maaf, kakak belum bisa mengajarkanmu membaca huruf braile. Kenangan
indah itu tidak akan kakak lupa.. Nesa adikku tersayang, belum cukup banyak
yang kau rasakan oleh sentuhan tangan mungilmu. Tapi pertigaan itu, telah
memperbaikinya. Semoga ini jalan yang terbaik dari yang Maha Kuasa. Agar kau
tidak merasakan seperti apa pahitnya kehidupan di dunia, senyum manis
terindahmu di pertigaan itu… tak kan pernah luput dari memory indah bersama
kita dulu. ;.(
***
Cerita ini terbagi menjadi 31 cerita yang merupakan karya tangan anak-anak kelas XA SMAN 1 Pemali. Cerita ini saya buat untuk mengenang masa-masa indah bersama teman-teman di sekolah. Mudah-mudahan nanti akan saya publikasikan juga Cerpen karya anak-anak XB.
Tetap bersama baygag karena blog ini akan terus di update :)
Temukan 31 Seri cerita lengkapnya!!! klik di sini
Temukan 31 Seri cerita lengkapnya!!! klik di sini