Minggu, 21 Juli 2013

“Simfony Duka”

Posted by Unknown On 15.26

(Cerita 8: Oleh Dessiyanti)

 “Ku takut bahwa aku akan membawamu ke dunia gelap dan sepi” Berbincang-bincang sendiri dalam hati, akan ketakutan yang selama ini terbungkus rapat dalam dekapan ingatannya. Dihadapannya sebuah pohon besar, dengan daun rimbun bergejolak riang karena hembusan angin segar. Tanah gersang dengan sedikit rerumputan, terus lurus dan berkelok.
“Sudah jauhkah aku berjalan? Aku lelah dengan penunjang berjalanku ini.” Kerikil kecil tersepak disetiap langkahnya. Tongkat penunjuk jalannya sedikit demi sedikit tersandung dengan kerikil kecil. Genggamannya terhadap alat penunjang itu erat.
“Kak, mau ke mana? Besok jangan lupa ajari aku membaca huruf-huruf braile ya!” sorak Nesa, adikku. Padahal aku sudah berada 100 meter jauhnya. Nesa, sesosok perempuan kecil periang yang juga sama dengan keadaanku. Yah keadaanku di mana bagiku tanganku ini sama dengan penglihatan kalian.  Nesa adikku selalu bersemangat dalam mengetahui dunia luar, meskipun ia tak dapat melihat dan memandangnya secara langsung dan hanya secerca rangkaian imajinasi saja yang ia lihat.
Setetes air tak cukup membasahi genggamanku terhadap tongkat yang ku pegang. Tiba-tiba air mataku jatuh..
Kalimat yang semula ku bayangkan, terpelik kembali dalam benakku. “Ku takut bahwa aku akan membawamu ke dunia gelap dan sepi”.
Nesa seorang adik yang ku banggakan, setiap ku menyentuh wajahnya. Setiap ku gengam tangannya, tersirat dalam batinku, hmm.. adikku yang periang, terus tersenyum walaupun duka telah terjadi padamu. Hingga saat ini pun, duka itu masih ada. Dari bentuk jemari tangan mungil Nesa, aku bisa merasakan betapa senangnya dia berada sama dengan keadaanku. 
Kokok ayam jantan membangunkanku, “iya aku lupa! Nesa sudah menungguku, kasihan dia.” Ku raih tongkatku, berjalan menuju kamar mandi. Walaupun aku hanya mengandalkan sentuhan kedua tanganku, aku bisa bergerak cepat. Setiap sudut rumahku sudah tak asing lagi bagiku. Itu hal yang mudah, aku bisa membayangkan bentuk dan tata letak setiap jengkal benda di rumahku. Aku sudah mengenal semuanya. Walaupun sinar putih yang berkilau sekalipun tak dapat ku rasakan. Hanya kegelapan yang menghiasi setiap jalanku.
Beberapa buku-buku bertuliskan huruf braile tak lupa ku bawa. “Hari ini Nesa pasti menanti kedatanganku, beruntung aku libur hari ini. Jadi semua beban pekerjaan untuk sementara bisa aku lepas. Aku hanya ingin membuat Nesa bahagia hari ini.” Batin ku ketika beranjak pergi.
Berpedoman terhadap tongkat terbaikku, ku mantapkan diriku untuk meninggalkan rumah. Kepergianku membawa hal yang berarti, ku harap..
Tibalah ku di seberang rumah orangtuaku. Rumah di mana dulu aku dibesarkan dan dididik hingga akhirnya aku bisa membawa diriku ke dalam keramaian masyarakat  yang penuh sesak dan sibuk akan kehidupan dunia.
Langkah tongkatku tiba di depan rumah masa kecilku, tampak sunyi di dalam. Ku coba dekatkan telingaku lebih dekat ke pintu. Tapi juga tak ada tanda-tanda orang di dalam. “Tok..tok..tok,” ku gunakan tongkatku secara perlahan. Ku panggil ibu dan Nesa “ ibu…! Nesa…!” tapi jawaban tak kunjung ku dengar.
“Kemana gerangan ibu dan Nesa pergi?” Nesa, adik kecilku yang ku pikir akan sangat menanti kedatanganku. “Kemana dia?”
Semua bayangan negatif membuyarkan pikiranku mengenai ketakutan ku terhadap kegelapan dan sepi sunyinya dunia. Tapi hatiku risau, tanpa kabar, tanpa jejak sedikit pun. Orang tua dan adikku tiba-tiba menghilang.
“Dek Tika.. Dek Tika..” Tegur tetangga orang tuaku. ”Ini ada pesan dari ibu, katanya Dek Tika di suruh langsung ke rumah sakit Swasta Nusantara.”
Teguran itu mengagetkanku sesaat. “Kecelakaan..? bencana..? aarrghh..” otakku dipenuhi dengan segala kemungkinan terburuk terhadap keluargaku.
***
“Emm, maaf..” tak sengaja sikutku menyenggol seorang laki – laki yang bisa aku rasakan melalui sentuhan kasar tangannya. Tongkatku hampir terjatuh, aku terlalu terburu – buru. Keluargaku ada di kamar atas bernomor 109. Jatungku berdegup kencang, tongkatku terus menuntun kakiku melangkah tanpa mengenal ada apa di depannya.
“Ayah, Ibu, Nesa!” Spontan aku memanggil mereka.
Tampak di hadapanku, ibuku tersenyum bahagia, ayah juga merasa gembira, demikian pula dengan Nesa. Aku tak mengetahui akan hal itu, yah itu karena aku tak bisa melihat.
“Alhamdulillah Tika.. ayahmu sekarang sudah bisa berjalan, maaf tadi Ibu tidak mengabarimu. Soalnya Ibu juga mendapat kabar ini mendadak dari tempat ayah terapi pagi ini.” Senyum bahagia menyertai perkataannya.
“huh!” ternyata sayupan melodi indah yang ku dapat di rumah sakit hari ini. Ku peluk ayahku, dekapan hangat ku rasakan darinya. Perasaan bahagia menenangkan batinku.
“Nesa! Hari ini kakak bawa buku brailenya. Nesa  bawa pulang yah, kita belajar bersama-sama di hadapan ayah lagi.” Nesa pasti mau kan?”. Ku rasakan Nesa yang masih bersemangat. Ayah diperbolehkan berada di rumah selamanya, dunia gelapku tiba – tiba menjadi bersinar. Pikiran bahagia bersama kembali.
Pertigaan itu, membuatku ingat akan kejadian kemarin, demikian pula dengan masa bahagia kebersamaan di hari itu. Mataku berkedip, tak kuasa ku menahan tangis. Nesa seorang adik yang paling ku sayangi. Pertigaan jalan itu telah mengambil kenangan manis masa depanku bersama Nesa.
Diaryku pun hampir semuanya lembab karena tetesan air mata yang terus membasahi pipiku. Dunia yang gelap dan sunyi yang ku takutkan akan terjadi dalam hidup Nesa, kini telah hilang. Aku yakin sekarang Nesa telah mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari kegelapan dan kesunyian dunia.



Dear Diary,
Nesa adikku tercinta,
kini kau tidak perlu takut akan dunia gelap dan sunyi. Kakak yakin, kau pasti akan mendapatkan hidup kekal yang lebih indah. Maaf, kakak belum bisa mengajarkanmu membaca huruf braile. Kenangan indah itu tidak akan kakak lupa.. Nesa adikku tersayang, belum cukup banyak yang kau rasakan oleh sentuhan tangan mungilmu. Tapi pertigaan itu, telah memperbaikinya. Semoga ini jalan yang terbaik dari yang Maha Kuasa. Agar kau tidak merasakan seperti apa pahitnya kehidupan di dunia, senyum manis terindahmu di pertigaan itu… tak kan pernah luput dari memory indah bersama kita dulu.  ;.(

***


Cerita ini terbagi menjadi 31 cerita yang merupakan karya tangan anak-anak kelas XA SMAN 1 Pemali. Cerita ini saya buat untuk mengenang masa-masa indah bersama teman-teman di sekolah. Mudah-mudahan nanti akan saya publikasikan juga Cerpen karya anak-anak XB.


Tetap bersama baygag karena blog ini akan terus di update  :)

Temukan 31 Seri cerita lengkapnya!!! klik di sini

Site search

Free Backlinks